Kamis, 19 April 2012

Sisi Lain Notre Dame de Paris

Notre-Dame de Paris (Foto: bestourism)
Notre-Dame de Paris (Foto: bestourism)
SISI kultural dan religius menjadi penyangga Katedral Notre-Dame, Paris. Sisi profesional menjadi bagian dari napas kehidupan di tengah kehidupan yang keras inilah yang turut menjaga citra Nyonya Kami Parisini sebagai wilayah yang pantas untuk dilirik dan dinikmati.

Siang itu bertepatan pada perayaan Paskah (Fete de Paques) di pelataran Katedral Notre-Dame tampak sepasang kekasih saling berpelukan mesra. Sementara tidak jauh dari mereka, wanita berbusana muslim asyik memberi makanan burung dara dengan cara menaruh makanan di telapak tangannya. Sang merpati dengan lincah memainkan sayapnya dan sesekali hinggap di atas tangan wanita berparas Middle East tersebut.

Sementara itu, di pelataran sayap depan katedral tersebut tampak pelancong berparas Mongolia asyik menikmati foto hasil jepretan mereka. Suasana yang menggambarkan keragaman ras dan religi tersebut menegaskan bahwa katedral Katolik Roma tersebut bukan saja menjadi ikon dan daya tarik umat Katolik. Namun, lebih dari itu, ibarat Candi Borobudur di Tanah Air yang biasa dikunjungi wisatawan yang beragam latar belakangnya, demikian pula Notre-Dame de Paris.

Melirik bangunan yang sudah berusia hampir 1.000 tahun yang dikenal sebagai salah satu gereja Katolik di tengah Kota Paris ini, terasa lebih memberi gereget di tengah suasana perayaan Paskah yang jatuh pada 9 April lalu.

Bagi warga Paris alias le parisien/la parisienne, di kawasan katedral tersebut berdiri, dikenal dengan sebutan Paris 4 alias quatrieme arrondissement. Paris terbagi menjadi 20 wilayah administrasi pemerintahan lokal yang tersebar di segenap penjuru angin Ibu Kota Prancis tersebut. Paris 4 terletak di sayap timur Kota Paris.

Entah bagaimana menjelaskan mengapa gereja yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada pertengahan abad ke-12 atau tepatnya pada tahun 1163 ini, sepanjang tahun diserbu ribuan pengunjung. Yang jelas, bangunan yang baru bisa dirampungkan secara utuh 200 tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1345, masih tampak utuh.

Bisa Anda bayangkan jika sebuah bangunan (sebut: monumen) yang sangat indah berada di dalam kawasan penyangga yang sama indahnya? Anda pasti merasa ”in the middle of no where” yang senantiasa diliputi rasa kagum.

Sisi lain yang dimaksud adalah bagaimana suasana kultural dan lingkungan fisik yang saling bahu-membahu dan menyangga bangunan yang pernah mengalami kerusakan fisik selama revolusi Prancis yang meletus pada tahun 1790. Secara natural, gereja yang arti harfiahnya adalah Nyonya Kami Paris tersebut, terletak di tepi Sungai Seine yang tidak kalah termasyhurnya.

Keindahan sungai yang membelah Kota Paris ini secara kasat mata terletak pada kebersihannya. Kebersihan sebagai wilayah manajerial telah dibuktikan pemerintahan lokal kawasan tersebut, ditambah dengan pengelolaan tata letak dan guna secara komprehensif. Sebut saja ketika pemerintah setempat memanfaatkan aliran sungai tersebut sebagai sarana wisata air. Sepanjang hari puluhan kapal wisata melintas di atas aliran sungai tersebut. Sementara di beberapa titik yang telah ditentukan, para pelancong bisa menikmati menu restoran terapung sambil menikmati keindahan Sungai Seine.

Keindahan sungai terasa bertambah-tambah dengan hadirnya jembatan (pont: baca pong) penyeberangan yang terpelihara kebersihan dan keindahan seni carving-nya yang ada di setiap ujung fondasi jembatan—pada umumnya didominasi bentuk kepala manusia. Gereja dengan corak Gotik Roman ini menghadap ke arah Barat.Persis di pelataran bangunan yang pada awalnya dibangun dengan semangat rivalitas dengan Kota Roma, Italia,ini terdapat sebuah situs yang amat masyhur,yaitu Point Zero alias Paris 0 km.

Entah sudah berapa juta pasang sepatu yang telah menginjak-injak lingkaran yang dengan pelat tembaga di tengahnya. Yang jelas, sebagian pengunjung percaya bahwa titik nol tersebut bertuah. Pelataran tersebut juga menjadi saksi bisu atas kesabaran para pengunjung katedral yang rela menjadi bagian dari antrean panjang sebelum mereka bisa memasuki gedung yang sangat termasyhur tersebut.

Sementara, di sepanjang sayap utara tampak bangunan yang lebih kecil yang sangat terpelihara. Sayap inilah yang berhadapan dengan Sungai Seine dan di sepanjang pelataran yang membujur ke arah barat timur inilah terlihat taman yang berfungsi sebagai ruang edukasi dan rekreasi bagi anak-anak dan balita. Hal ini tampak dengan adanya sarana bermain, di antaranya halaman berpasir, aneka rupa ayunan, dan poster dengan tema La biodiversite.

Tidak salah kiranya dengan ucapan spontan Mang Dadang, mantan ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Paris yang sedang bergelut dengan program doktoral di bidang geografi tersebut bahwa Paris benar-benar ditata dengan mengoptimalkan fungsi kecerdasan para pengelolanya.

Pendapat pria Sunda tersebut muncul pada saat mencermati kerumitan tata kelola kereta bawah tanah Paris—biasa disebut Metro—yang mencacah wilayah bawah tanah Paris menjadi terowongan raksasa yang saling silang secara rumit. Plus tata kelola kebersihan, ruang iklan, dan drainase bawah tanah.

Keunikan kawasan penyangga katedral tampak pula pada ribuan ”gembok cinta” yang digantung di sepanjang jembatan yang menghubungkan Bantaran Utara-Selatan Sungai Seine. Siang itu beberapa orang mencermati aneka gembok yang beraneka ragam dengan nama yang tertera di setiap gembok tersebut.

Siang itu perayaan Paskah di Paris ditandai dengan hujan rintik dan mendung tebal di atas langit kota mode dan parfum tersebut. Tampak anak berusia sekitar 10 tahun menikmati penampilan para pengamen ”profesional”  jalanan.

Para peminat musik jazz Tanah Air, begitu mendengar irama musik yang renyah dan dinamis dengan cord yang terputus-putus tersebut, segera teringat gaya permainan Ireng Maulana dan kawan-kawan.Penampilan  mereka tidak ubahnya sebagai pemain musik profesional. Selain mengincar uang receh para penonton, mereka juga menjajakan CD yang merekam karya musikal mereka. Bagi Hangga, mahasiswa asal Indonesia yang mendalami ilmu ekonomi studi pembangunan ini, kontribusi bidang wisata bagi pemerintah Prancis cukup signifikan.

”Sekitar 30 persen,” ujar mahasiswa dengan logat Sunda yang kental. ”Namun, kontribusi terbesar pada APBN pemerintah Prancis adalah ekspor barang yang berbasis pada high-tech, termasuk pesawat Airbus,” lanjut Hangga.

Jean Max, seorang pengunjung dari Kota Lyon, kota terbesar kedua/ketiga setelah Paris dan Marseille, sedikit melenguh. Hal ini terjadi setelah melihat daftar harga minuman di kafe Limonade. ”Cest Cher,” ujarnya perlahan.

Memang harga minuman di kawasan wisata tersebut hampir melipat dua kali dibandingkan harga rata-rata. Sebut saja harga kopi expresso dibanderol 3,5 euro atau setara dengan 40.000 lebih. Adapun harga rata-rata, minuman yang sama adalah 1,6 sampai 1,8 euro. Kafe ini terletak di ujung rue Saint Louis en L’ile. Jalan ini tertetak di sebelah timur salah satu katedral terbesar di dunia tersebut.

Laporan Koresponden SINDO Adam Harnadi Paris, Prancis

(SINDO//ftr)

0 komentar:

Posting Komentar