Banyak alasan untuk
bergelut mengembangkan software open
source. Seperti developer Indonesia yang
satu ini misalnya, meski open source
dianggapnya sulit dikomersilkan, namun ia
masih setia membidani aplikasi bersistem
terbuka ini. Alasannya, demi sebuah
kepuasan!
Ibnu Maksum, developer yang dimaksud,
menyatakan bahwa bisnis open source
sejatinya tidak begitu cemerlang di
Indonesia. Ia tentu bukan asal
berkomentar, namun berkaca pada
pengalamannya sendiri.
"Nah, pengalaman saya membuat open
source adalah hanya menghasilkan
kepuasan tanpa menghasilkan profit,"
tukasnya dalam acara jumpa pers
Indonesia Open Source Award (IOSA)
2012 di Kementerian Kominfo, Selasa
(13/3/2012).
"Seperti aplikasi web, saat kita
memberikan source code ke perusahaan,
banyak yang mengubah kodenya dan
bahkan menjual kembali. Dan kadang
mengakui sebagai hasil karyanya. Seperti
waktu anak SMP bikin aplikasi antivirus
dan social network salingsapa," lanjut pria
yang sehari-hari bekerja sebagai freelance
coder, apps developer dan blogger itu.
Selain itu, Ibnu juga menyoroti soal
ketergantungan developer open source
terhadap donasi. Nah, inilah yang menjadi
bumerang. Sebab ketika banyak yang
cuma jadi pengguna gratisan tanpa mau
memberi donasi, aplikasi open source itu
justru bakal kian tenggelam.
"Siapapun yang pakai dan puas, silakan
donasi agar selalu di-update. Tapi
sayangnya jarang yang memberi donasi.
Kalau Android kan di belakangnya
perusahaan besar Google. Jadi para coder
resminya dibayar Google," lanjut Ibnu.
Untuk itu, disebutkan jika Indonesia
sepertinya dinilai lebih cocok sebagai
pengadopsi teknologi yang diopensourcekan
lalu menggunakannya dalam membantu
pekerjaan sehari-hari.
Nah, biasanya yang mengopensourcekan
produknya akan mencari profit dari
support. Seperti Linux, jika butuh bantuan
support ada biayanya. Ada pula aplikasi
open source sisfokampus yang gratis dan
opensource, tapi profit didapatkan dari
training untuk menggunakan aplikasinya.
"Saya pun banyak memiliki aplikasi open
source. Bagi saya membuat produk open
source tidak menguntungkan, hanya
memuaskan," kata Ibnu.
"Banyak produk yang diopensourcekan
namun tidak komplit atau belum selesai.
Jadi kadang patching (ditambal-red.)
sendiri. Namun kalau opensourcenya
dikerjakan komunitas biasanya saling share
masalah dan saling memperbaiki," ia
menandaskan.
Selasa, 13 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar