Jumat, 20 April 2012

Mengingat Tsunami di Kapal Apung

Situs tsunami PLTD Apung di Gampong (Desa) Punge Blang Cut, Banda Aceh, Aceh, Senin (16/4). PLTD Apung adalah pembangkit listrik tenaga diesel lepas pantai dengan bobot 26.000 ton yang terdorong sejauh 5 km ke daratan saat tsunami 2004 silam. TEMPO/ Agung Pambudhy
TEMPO.CO, Banda Aceh - Sabtu sore itu, satu per satu pengunjung memasuki pelataran obyek wisata tsunami kapal apung, Banda Aceh. Di pintu masuk, Gibran mengawasi dan kerap memanggil para tamu, Sabtu 14 April 2012. “Jangan lupa diisi buku tamunya, nama dan dari mana,” ujar Gibran, pemandu di area itu. Wisatawan pun mengisi dan memberikan kesannya terhadap museum pengingat bencana hampir satu dekade lalu.

Wisata kapal apung memang baru dibuka kembali sejak 4 April 2012. Rehab lokasi itu dimulai Juli 2011 silam dengan dana dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hasilnya adalah kini museum memiliki pagar dan bangunan yang lebih tertata. “Untuk sekarang, tidak dipungut biaya apa pun,” kata Gibran.

Dua pekan lalu, peresmian seusai pemugaran dilakukan oleh Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Raden Sukhyar. Sebab Kementerian tersebutlah yang banyak membantu pemugaran. Raden yang hadir untuk meresmikan didampingi oleh Pj Wali Kota Banda Aceh T. Saifuddin. “Kami berharap monumen ini dapat dijaga dan dikelola dengan baik. Kami juga sangat berterima kasih kepada Kementerian ESDM atas dukungan dan bantuannya. Semoga monumen ini bisa menjadi pusat edukasi tsunami dan tujuan wisata di kota ini,” kata Saifuddin.

Pasca-pemugaran, ternyata pengunjung terus bertambah. “Saat ini ada seratus orang pengunjung per hari, kalau hari Sabtu dan Minggu bisa lebih lagi,” ujarnya kepada Tempo.

Di sisi kiri pintu masuk, sebuah monumen pengingat tsunami berdiri. Di sana tertulis nama-nama korban tsunami dari Desa Punge Blang Cut, tempat kapal apung itu bertengger. Sebuah kapal besar yang terdampar ke tengah kota ketika tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004 silam.

Gibran yang warga setempat menyebutkan kapal itu sebagai bukti kedahsyatan tsunami. Saat tsunami datang, kapal yang difungsikan sebagai pembangkit listrik di lepas pantai itu digiring ombak raya ke tengah permukiman warga. Alhasil, berlabuhlah kapal berbobot mati 2.500 ton dengan panjang 63 meter itu ke darat. Bergeser sekitar 5 kilometer dari tempat seharusnya kapal itu berada.

Kini kapal itu telah berubah fungsi. Oleh Pemerintah Kota Banda Aceh, kapal dimasukkan sebagai salah satu obyek wisata tsunami di ibu kota provinsi. Para pengunjung pun ramai datang, melihat dekat sisa tsunami dan membayangkan besarnya bencana yang datang enam tahun lima bulan lalu. “Pengelolaan dilakukan oleh Kementerian ESDM dan Pemerintah Kota Banda Aceh,” kata Gibran.

Berada di atas kapal, pengunjung akan tahu, berapa jauh kapal itu terseret arus tsunami. Sebab dari geladak setinggi 20 meter lebih akan terlihat laut dan dermaga Ulee Lheu. Sebagian kota juga terpampang dari atas sana.

Masuk ke kapal, mesin pembangkit listrik sudah tak ada lagi. Mesin itu telah dipindahkan sejak akhir 2010 silam. Saat malam, lampu-lampu dihidupkan dengan memakai arus listrik, sama seperti fasilitas penerangan ke rumah-rumah warga.

Para pengunjung tak meninggalkan kesempatan untuk berpose pada kapal apung itu. “Saya baru melihat sendiri bukti dahsyatnya tsunami Aceh. Dulunya saya hanya melihat foto-foto,” kata Desi, yang mengaku berasal dari Sumatera Selatan.

Tempat wisata itu dibuka saban hari sejak pukul 10.00 WIB sampai sekitar pukul 21.00 WIB. Malam akhir pekan, jadwalnya bisa bergeser lebih larut. Ingin ke Banda Aceh, jangan lupa singgah ke kapal apung untuk sekadar mengingat tsunami.

ADI WARSIDI

0 komentar:

Posting Komentar